Senin, 06 Februari 2012

“Menyerah Pun Belum Tentu Kalah Asal Terus Berusaha Mencapai yang Diinginkan Dengan Cara yang Berbeda….”

Kalo mau diruntut mestinya kondisi yang saya alami seperti sekarang ini bisa dikatakan saya menyerah tanpa syarat karena membiarkan semua yang saya mliki diambil oleh bank karena saya mengalami kesulitan keuangan yang mengakibatkan pembayaran credit saya menjadi macet.
Saya memang memberikan apa yang saya jaminkan ke bank untuk diambil, saya sudah nggak berminat lagi mempertahankannya sebab jika saya pertahankan pasti energi saya terserap secara total disana, akibatnya saya nggak focus lagi ke tujuan utama yaitu mengembangkan bisnis.
Saya memang menyerah tapi saya nggak berhenti begitu saja dalam mempertahankan apa yang pernah saya punyai, saya tetep berusaha selama mungkin apa yang saya miliki tetep bertahan pada saya sebelum diambil sama yang berhak dan cara yang saya lakukan juga tidak menimbulkan konfrontasi sehingga hubungan saya dengan bank (paling tidak dengan marketing dan analisnya tetep baik secara personal).
Dalam kasus ini cerita dan pokok bahasan saya mengenai property, saya akan ceritakan cara saya berusaha mempertahankan rumah saya selama mungkin ketika saya menyerah tanpa syarat pada bank.
Dua tahun lalu saya jaminkan rumah yang saya tinggali ke bank karna suatu kebutuhan bisnis, dengan menjaminkan property saya itu maka saya mendapatkan sejumlah uang yang berbentuk credit dari bank. Kebetulan saya mengambil creditnya dengan system pinjaman rekening koran, maksudnya dalam pinjaman ini jika belum mampu mengembalikan pokok pinjaman yang susdah dipakai maka kita hanya wajib membayar bunganya saja setiap bulan selama jangka waktu satu tahun.
Dengan penuh kesungguhan saya bayarkan bunga yang menjadi kewajiban saya pada bank yang memberikan pinjaman setiap bulan selama satu tahun penuh tanpa pernah terlambat. Sampai pada suatu saat saya mengalami kesulitan financial karena bisnis saya mengalami kemunduran, kondisi ini terjadi pada saat pembayaran credit saya memasuki tahun kedua. Selama satu tahun karena pembayaran saya bagus maka bank memberikan perpajangan pinjaman untuk tahun kedua, dengan tingkat suku bunga yang lebih rendah dari tahun sebelumnya.
Nggak disangka pada bulan-bulan awal bisnis saya terganggu karena krisis dan berakibat pada masalah penjualan sehingga perputaran keuangan menjadi tersendat, akibatnya saya jadi nggak mampu membayarkan kewajiban saya pada bank. Yang tadinya pembayaran bunga lancar setiap bulannya maka pada periode tahun kedua pembayaran saya menjadi tidak lengkap, dalam kurun waktu tiga bulan saya baru mampu membayar satu angsuran yang menjadi kewajiban saya.
Saya tetap memasukkan sejumlah uang ke dalam rekening saya tapi tidak sesuai dengan kewajiban saya yang seharusnya. Misalnya setiap bulan saya yang seharusnya bayar bunga ke bank sebesar 7,5 juta. Tapi kewajiban sebesar itu akibat kesulitan keuangan maka tidak dapat saya penuhi, walopun begitu saya tetep nggak berhenti membayar, saya tetep membayar tapi tidak sebesar kewajiban saya. Setiap bulan saya paksakan diri saya untuk membayar sesuai dengan kemampuan yang ada, saya saat itu hanya mampu bayar sekitar 2,5 juta setiap bulannya dan itulah yang saya lakukan.
Jadinya kewajiban setiap bulan yang harusnya sebesar 7,5 juta baru klop terbayar pada bulan ketiga. Tentunya akibat cara bayar yang demikian itu bank nggak diam saja. Saya mendapatkan beberapa surat peringatan mulai dari surat peringatan satu sampai surat peringatan tiga. Yang kira-kira intinya jika saya nggak mampu membayar maka property saya terancam akan di lelang oleh bank.
Agak kaget juga saya mendapat surat seperti itu, wah saya bisa kehilangan rumah tinggal neeh, begitu gejolak otak saya. Seperti biasa kondisi ini nggak saya diamkan begitu saja, saya selalu bicarakan dan saya diskusikan dengan istri semuanya. Saya cenderung panic dan gampang sekali panic sedangkan istri saya lebih tenang, paling tidak dia selalu memaksakan diri untuk tenang jika melihat saya panic. Jika istri saya bicara dengan tenang maka kepanikan yang muncul pada diri saya juga bisa cepat turunnya jadi saya bisa mikir dengan lebih tenang. Untunglah itu yang terjadi pada kami, jadi kalo yang satu panic maka yang lain berusaha untuk lebih menahan diri, apa jadinya jika kami berdua sama-sama panic. Tapi yang jelas kemampuan istri saya menahan diri dan bersikap tenang jauh diatas saya.
Dari saran istri saya maka saya lantas mengontak petugas yang biasa memantau perkembangan pembayaran credit saya di bank itu. Kira-kira saat saya berusaha menghubungi petugas itu sudah masuk ke bulan keempat dari periode tahun kedua dan pada saat itu saya juga sudah nggak mampu lagi melakukan pembayaran walaupun hanya sebesar 2,5 juta saja.
Petugas tadi menanggapi dengan baik ketika saya menghubunginya lalu kami membuat janji untuk bertemu dan membicarakan kasus serta kesulitan yang sedang saya alami ini. Pada hari yang sudah ditentukan saya dan istri dating ke bank tersebut dan langsung menemui petugas tersebut. Tanpa basa basi lagi saya ceritakan semua permasalahan saya padanya.
Sebelum saya bertemu dengan petugas itu di kantornya, di rumah yang tagihannya sedang macet itu kami pasang spanduk besar. Spanduk besar itu kami pasang di pagar rumah kami sehingga mudah dilihat dari jauh dan spanduk besar itu berisikan tulisan kalo rumah kami itu dijual lengkap beserta keterangan nomor telepon yang bisa di hubungi supaya jika ada yang berminat dan menyakan tentang harga melalui telepon dapat dengan mudah di akses.
Jadi ketika saya bertemu dengan petugas dari bank saya bercerita padanya tentang semua kesulitan dan permasalahan kami serta keinginan kami untuk menjual rumah itu agar nanti uangnya bisa kkami pake untuk membayar tunggakan kami disana. Kami juga minta kesediaan petugas bank agar mau membantu kami untuk menjualkan rumah kami itu pada relasi-relasinya.
Rupanya si petugas terkesan dengan sikap kami yang kooperatif dan mau bekerjasama sehingga tidak menyulitkannya dalam bertindak. Dia bilang kalo biasanya banyak nasabahnya yang creditnya macet karena nggak mbayar di minta untuk menjual rumahnya yang dijaminkan tapi nggak mau. (saya mbatin dalam hati, siapa juga yang mau dengan sukarela menjual rumah satu-satunya hanya untuk membayar hutangnya pada bank) Saya menanggapi kata-kata petugas itu kalo kami sebenernya nggak rela menjual rumah kami itu, tapi akhirnya kami bulatkan tekad untuk menjual saja supaya permasalahan credit mact kami ini bisa terselesaikan pelan-pelan.
Ngobrol punya ngobrol dan terjadilah negosiasi antara kami dengan petugas itu. Petugas menyarankan agar kami membuat rekening baru di banknya, rekening tabungan biasa gunanya agar kalo kami punya uang maka kami bisa setorkan uang kami tersebut dalam rekening baru tanpa terdebet untuk pembayaran credit macet kami. Petugas menyarankan jika kami rutin menyetorkan duit ke rekening baru kami itu maka jika petugas menganggap saldo yang terkumpul dalam 2-3 bulan kedepan cukup untuk membayar satu ansuran maka petugas akan membantu mendebitnya. Sementara itu rekening credit kami macet akan dia bantu bekukan agar bunga berjalan dan denda-denda nggak di bebankan lagi pada kami. Jadi nanti duit yang terkumpul di rekening baru itu jika di bayarkan pada credit macet kapi akan langsung mengurang pokoknya tanpa denda dan bunga lagi.
Alhamdulillah,
saya dan istri mengucapkan terima kasih pada petugas itu karena berkenan membantu kami menghentikan bunga dan denda yang akan terus berjalan karena keterlambatan saya dalam membayar tagihan. Saya nggak nanya secara terang-terangan pada petugas itu tapi rasanya memang akan ada bantuan keringanan dari bank buat nasabah credit macetnya yang mau diajak kerjasama dan kooperative.
Saya berusaha untuk membuktikan itikad baik saya dalam membayar credit macet saya itu. Saya buka rekening baru lantas pada akhir bulan uang yang terkumpul di dalam rekening baru tadi totalnya sekitar 3 juta rupiah. Tapi ternyata usaha saya terbentur lagi perputaranroda bisnis saya makin lambat jadinya nggak ada lagi dana yang bisa dianggarkan untuk disertorkan dalam rekening baru saya itu. Selama saya macet dan selama saya punya rekening baru hanya sekitar 3 juta itu saja yang bisa saya setorkan ke dalamnya.
Parah ya, kemampuan financial saya …
Dua bulan setelah saya berhenti menyetor uang dalam rekening baru, maka rumah saya di kunjungi oleh 3 orang petugas dari bank tempat credit saya macet. Saat itu saya dan istri sedang nggak ada di rumah, saya sedang keliling di daerah-daerah luar jawa sedangkan istri masih di bandung sibuk kuliah S3 disana. Yang bertemu dengan ketiga petugas itu hanya mbak yang mengasuh anak-anak dan anak sulung saya. Kepada si mbak mereka memperkenalkan diri, yang pertama adalah petugas analis dan marketing yang selama ini menangani credit saya mulai saya memprosesnya dulu diawal saya mengajukan credit sampai akhirnya saya kesulitan membayarnya. Kemudian yang kedua. Mengaku sebagai petugas collection yang menangani kasus credit macet saya, dia juga mengaku sebagai kepala collection di kantor cabang bank tempat saya mecet. Dan yang ketiga, seorang wanita yang mengaku sebagai petugas legal yang menangani permasalahan hukum yang muncul karena adanya wantprestasi (atau kasus melanggar perjanjian antara saya dan bank).
Karena saya dan istri nggak ada maka si mbak bilang terus terang pada mereka kalo kami berdua nggak ada di rumah. Seperti yang sudah kami pesan berulang-ulang pada si mbak agar jangan pernah mengijinkan orang bank siapapun mereka untuk masuk ke dalam halaman kami. Maka si mbak ketika ber bicara dengan mereka tetep di balik pagar sedangkan ke tiga petugas itu berbicara di luar pagar alias di jalanan.
Sambil berbicara di balik pagar, salah seorang dari petugas itu memotret rumah kami, kata si mbak yang di foto lebih di tujukan pada spanduk yang mengumumkan kalo kami menjual rumah kami itu. Sementara petugas yang sering berkomunikasi dengan saya beberapa kali menghubungi saya lewat telepon selular. Saya yang sedang dilapangan tentu saja nggak bisa menjawab telepon si petugas saat itu juga.
Karena kami nggak ada di rumah dan saya nggak bisa mereka hubungi maka mereka pamit kepada si mbak setelah puas dan selesai memotret rumah dan spanduk penjualan yang kami pasang itu. Mereka juga berpesan pada si mbak agar kalo kami datang agar segera menemui mereka di kantornya.
Setelah mereka pergi maka si mbak menghubungi saya dan istri, tapi karna kami juga nggak bisa di telepon di hape kami masing-masing maka si mbak lantas kirim sms dan menjelaskan persoalan yang baru dialaminya pada kami.
Setelah urusan saya selesai. Setelah saya membaca sms dari si mbak saya langsung menghubungi petugas itu. Saya simpan nomor hapenya karena kami selalu berhubungan dan berkomunikasi terus. Ketika hubungan telepon tersambung saya bilang saya nggak ada di surabaya karena sedang di daerah, saya juga bilang ke ptugas itu tentang apa tujuannya datang dan apa yang harus saya lakukan. Si petugas bilang itu hanya kunjungan rutin biasa untuk melihat kondisi nasabah yang creditnya sedang macet lantas jika bertemu dengan si nasabah maka mereka akan berdialog dan bernegosiasi tentang pembayaran dari si nasabah.
Petugas itu nggak mau berbicara lebih lama di telepon, dia meminta saya untuk datang menemuinya atau menemui kepala collection dan bagian legal begitu saya sampai di surabaya. Saya lantas menyanggupi untuk datang ke kantor mereka setelah saya atur jadwal dulu dengan istri saya, saya bilang pada mereka dua atau tiga hari lagi saya dan istri sampai di surabaya dan begitu sampai paling lambat besoknya kami akan segera menghadap di kantor mereka. Si petugas rupanya puas dengan jawaban saya dan minta saya benar-benar datang pada saat yang sudah di sepakati.
Pada hari yang kami sepakati, saya dan istri datang menemui petugas-petugas itu di kantornya. Saya datang pagi sesuai dengan keinginan yang suudah kami sepakati bersama. Ternyata pada saat saya dan istri datang kantor mereka kosong, saya heran juga padahal kita sudah bikin janji. Salah seorang pejabat bank yang menyambut kami bilang kalo ada acara mendadak di kantor wilayah sehingga banyak petugas yang di minta ke kantor pusat mendampingi kepala cabang. Si pejabat itu menghubungi ketiga orang yang mencari saya di rumah tapi nggak ketemu. Petugas yang biasa membantu saya rupanya sedang cuti menikah sedangkan dua petugas lain yang mengaku dari legal dan collection rupanya sedang ke kantor ilayah mendampingi kepala cabang.
Kepada kami mereka minta agar kami mau menunggu kurang lebig satu jam dimana mereka akan berusaha kembali ke kantor untuk menemui kami. Kami menyanggupi saja, karena agenda saya dan istri pada hari itu memang khusus menemui dan bernegosiasi dengan para petugas bank itu.
Saya menunggu di ruang tunggu yang sudah mereka sipakan. Hampir satu jam saya dan istri menunggu mereka datang sampai tiba-tiba petugas yang mengaku pejabat bank itu datang menemui kami dan menyampaikan jika acara di kantor wilayah menjadi molor dan bisa sampai sore. Dia bilang pada kami untuk kembali esok pagi saja. Saya saling pandang dengan istri lalu kami menyanggupi kalo kami besok pagi bisa datang lagi tapi saya minta kepastian kalo saya dan istri datang lagi maka harus dipastikan petugasnya ada. Si pejabat lantas menjawab tegas kalo besok pagi bisa dipastikan akan ada petugas yang menemui kami. Mendengar jawaban itu maka kami segera berpamitan untuk kembali lagi besok pagi.
Besok paginya saya dan istri kembali ke kantor bank itu untuk bernegosiasi dengan para petugas. Dan ternyata memang benar salah seorang dari petugas itu sudah siap menunggu kedatangan kami. Petugas yang mengaku kepala collection itu sudah menunggu kedatangan kami. Sikapnya tegas tapi tidak berkesan sok galak tapi teep menjaga jarak dengan kami walaupun keramahannya nggak hilang.
Dia membuka percakapan dengan menjelaskan siapa dirinya. Dia bilang selama kariernya di bank dari awal sudah ditempatkan di bagian collection dan mungkin karena dianggap berprestasi maka dia sering dipindah ke daerah-daerah yang credit macetnya tinggi, dan biasanya setelah dia datang dan menangani situasi maka credit macet di daerah itu bisa turun prosentasennya.
Saya dan istri mendengarkan saja apa yang dia sampaikan tanpa menjawab sama sekali.
Selama karernya bukan sekali dua kali dia diancam oleh nasabah credit macet dengan berbagai cara, tapi dia bilang selalu dapat menyelesaikannya dengan baik, orang yang tadinya mengancam akhirnya bisa tunduk dan bisa diajak bicara baik-baik.
Dia juga bilang kalo cara yang dipakainya nggak dengan kekerasan atau emosi tapi dia selalu menggunakan cara bernegosiasi baik-baik tapi tegas. Nah kalo nasabah tetep saja nggak bisa ditangani dengan cara yang baik maka jalur hukumlah yang ditempuhnya dari mulai jalur hukum biasa sampai jalur hukum di pengadilan. Dia juga bilang kalo cabang bank tempat dia bertugas sekarang ini sedang mengalami pengawasan ketat dari pusat karena tingkat credit macet nya yang tinggi, maka oleh orang pusat dia di kirim untuk bertugas disana. Dia juga bilang kalo baru satu dua bulan bertugas disana.
Setelah puas bercerita tentang kehebatan kinerjanya maka petugas itu mengalihkan pembicaraan pada kasus kami dan bertanya pada kami bagaimana rencana kami dalam menyelesaikan tunggakan kami. Sebelum dia mengakhiri pembicaraan dan mendengar jawaban kami dia juga bilang bahwa semua prosedur sudah dia jalankan mulai dari surat peringatan satu sampai surat peringatan ke tiga, pemanggilan nasabah berulang ulang untuk bernegosiasi sampai mengunjungi nasabah di tempat domisilinya. Nah dia bilang cara yang belum dilakukan hanya prosesi penjualan property yang di jaminkan di balai lelang.
Dia lantas memandang wajah kami berdua sebagai tanda kalo dia selesai mengakhiri kata-kata panjangnya.
Saya merasa kalo orang itu menunggu penjelasan dari saya maka lantas saya memberikan penjelasan padanya. Saya bilang kalo sudah berusaha untuk menjual property saya itu dengan harga di bawah harga pasar, saya juga bilang kalo sudah menghubungi semua broker yang ada di surabaya baik itu broker tradisional atau broker profesional untuk membantu menjualkan dengan cepat. Saya bahkan juga bilang apa saya perlu menunjukkan kerjasama dengan broker yang kami sebutkan.
Ternyata petugas itu menjawab nggak perlu karena dia juga sudah mengunjungi rumah kami dan melihat sendiri spanduk penjualan yang kami pasang di pagar rumah.
Mendengar itu saya melanjutkan laporan saya kalo harga penjualan di perumahan kami terutama di deretan rumah kami jadi hancur sebab ada sebuah rumah yag letaknya hanya empat atau lima rumah sajadari rumah kami, tapi luas tanahnya lebig besar, bangunannya lebih bagus dan terdiri dari dua lantai itu dijual oleh pemiliknya dengan harga sangat murah. Rumah yang harusnya bisa di jual dengan harga sekitar 1,5 milyar hanya di jual dengan harga 650 juta saja. Padahal harga 650 juta itu adalah harga pasaran rumah yang type nya persis dengan rumah yang mau kami jual. Kami bilang orang itu butuh cepat menjual rumahnya karena pindah ke luar pulau sehingga harga jual rumahnya ngawur banget dan berakibat menjatuhka harga pasaran rumah-rumah lainnya.
Akibat dari harga jual yang ngawur itu maka harga jual rumah kami hancur dan akibatnya beberapa orang yang sudah deal harga menjadi mundur. Sebab transaksi penjualan rumah besar didekat kami ditangani oleh agen broker property propesional sehingga beritanya dengan cepat menyebar di kalangan agen broker property. Alasan itu yang kami sampaikan pada petugas, bahkan kami juga minta tolong padanya agar rumah kami dijual dengan harga yang bisa menutup tunggakan hutang kami.
Jawaban saya yang sungguh-sungguh dan di amii oleh istri itu rupanya dianggap masuk akal oleh si petugas, saya sebenernya merasa kalo dia sudah melakukan survey pasar untuk menentukan kisaran harga normal dari property kami yang macet itu. Dari wajahnya saya merasa kalo orang itu hanya memancing alasan dan jawaban saya saja, apakah saya menjawab dengan jujur atau hanya alasan yang dibikin-bikin. Karena memang jawaban saya dan istri apa adanya dan nggak ada yang di buat-buat untuk alasannya maka yang kami kemukakan semuanya berdasarkan kondisi sebenernya yang terjadi dilapangan.
Berdasarkan alasan itu maka petugas memberikan kami waktu lagi untuk menjual property kami supaya hasil penjualan nya bisa dipake untuk membayar tunggakan kami. Dia menyarankan agar bisa menjual sesuai dengan pokok hutang kami, dia juga bilang kalo dia juga sudah memberikan keringanan pada kami dengan menghentikan bunga dan denda akibat keterlambatan kami jadi kewajiban yang harus kami bayarkkan hanya pokoknya saja. Dia juga menyarankan agar kalo punya uang minimal 10 juta langsung saja di laporkan padanya agar bisa di pake untuk pembayaran dan langsung mengurangi pokok hutangnya.
Saya bilang padanya kalo kami akan berusaha mengusahakannya walo dalam hati saya bilang untuk mengumpulkan uang 2,5 juta sebulan saja susah banget apalagi mengumpulkan uang sampai 10 juta dalam waktu kurang dari 3 bulan. Saya tidak mau berjanji saya hanya bilang akan mengusahakannya semaksimal saya, insyaallah!!!
Petugas itu rupanya suka dengan jawaban dan kerjasama kami dalam bernegosiasi dengannya. Kata istri saya saat kami bertiga berbicara wajah orang itu cerah terus, makanya istri saya menyimpulkan seperti itu, kata istri saya lagi kalo dia tidak suka denga proses negosiasi yang terjadi hari itu tentunya wajah orang itu nggak akan cerah dari awal sampai pada saat kami pamit pulang.
Kami berdua pamit pulang, saya lega istri juga lega sebab sampai sejauh ini semua proses negosiasi kami dengan pihak bank nggak ada yang berakhir dengan emosi negative, semua yang kami ingikan bisa kami dapatkan, kami memang menginginkan penundaan dan ternyata memang penundaan yang kami peroleh selama ini. Secara apapun berdasarkan hitungan dan presdiksi yang selalu kami bacarakan antara saya dan istri di setiap kesempatan maka kemampuan financial yang kami miliki nggak akan mampu menebus jaminan yang saya taroh ke bank.
Jadi satu-satunya jalan yang kami tempuh adalah menyerah tanpa syarat pada bank, tunduk pada semua keputusan yang bank bikin apapun itu agar kami dapat mengatur nafas, menyusun rencana baru terutama rencana keuangan agar kami bisa bergerak lagi dengan lebih leluasa saat kami nggak lagi terbebani oleh kewajiban membayar tagihan.
Karena kami menyerah tanpa syarat maka kami nggak melakukan perlawanan sama sekali dalam mempertahankan property kami. Kami pasrah saja, kami selalu bernegosiasi dan selalu berupaya menjalin komunikasi dengan para petugas dari pihak bank. Dengan menjalin komunikasi yang baik dan membangun kerjasama dengan mereka serta menuruti apa yang mereka inginkan maka kami pun dapat memperoleh apa yang kami inginkansumber inspirasi kreatif

Tidak ada komentar:

Posting Komentar