I. PENDAHULUAN
I.1 Dasar Teori
Emulsi
adalah suatu sediaan yang mengandung dua zat yang tidak dapat
bercampur, biasanya minyak dan air yang stabilitasnya dapat
dipertahankan dengan emulgator atau zat pengelmusi. Emulsi yang
mempunyai fase dalam minyak dan fase luar air disebut emulsi
minyak-dalam-air dan biasanya diberi tanda sebagai emulsi “M/A”.
Sebaliknya emulsi yang mempunyai fase dalam air dan fase luar minyak
disebut emulsi air-dalam-minyak dan diberi tanda sebagai emulsi “A/M”.
Tujuan Emulsi :
Secara
farmasetik, proses emulsifikasi memungkinkan para ahli farmasi dapat
membuat suatu preparat yang stabil dan rata dari campuaran dua cairan
yang tidak dapat saling bercampur.
Untuk
emulsi yang diberikan secara oral, tipe emulsi minyak-dalam-air
memungkinkan pemberian obat yang harus dimakan tsb memiliki rasa enak
dengan menambahkan pemanis dan pemberi rasa pada pembawa airnya,
sehingga mudah dimakan dan ditelan sampai ke lambung. Ukuran partikel
yang diperkecil dari bola-bola minyak dapat mempertahankan minyak
tersebut agar mudah diabsorbsi, lebih efektif kerjanya, seperti
meningkatkan efikasi minyak mineral sebagai katartik bila diberikan
dalam bentuk emulsi.
Emulsi
yang dipakai pada kulit sebagai obat luar biasa dibuat dalam bentuk M/A
atau A/M, tergantung pada faktor-faktor, seperti sifat zat terapeutik
yang akan dimasukkan dalam emulsi, keinginan untuk mendapatkan efek
emolien atau pelembut jaringan dari preparat tersebut, dan keadaan
permukaan kulit.
Pada
kulit yang tidak luka, emulsi A/M biasanya dapat dipakai lebih merata
karena kulit dilapisi oleh lapisan tipis dari sabun dan permukaan ini
lebih mudah dibasahi oleh minyak daripada oleh air. Emulsi A/M lebih
lembut di kulit, karena mencegah mengeringnya kulit dan tidak mudah
hilang bila kena air. Sebaliknya bila diinginkan preparat yang mudah
hilang bila terkena air, dapat digunakan emulsi M/A.
Teori Emulsi :
1. Teori tegangan permukaan
Suatu
molekul memiliki tegangan yang berbeda. Tegangan yang terjadi pada
permukaan disebut tegangan permukaan. Dan tegangan yang terjadi antara
dua zat yang tidak bercampur disebut tegangan bidang atas. Semakin
tinggi tegangan yang dimiliki, semakin sulit untuk bercampur. Tegangan
yang terjadi pada air dapat bertambah bila diberi garam-garam an-organik
dan larutan-larutan elektrolit. Namun, tegangan ini dapat dikurangi
bila ditambahkan senyawa-senyawa an-organik tertentu, seperti sabun
(sapo, prosesnya disebut saponifikasi).
Penambahan emulgator, dapat menghilangkan tegangan yang terjai pada masing-masing molekul, sehingga dua zat yang tidak dapat bercampur menjadi tercampur.
Penambahan emulgator, dapat menghilangkan tegangan yang terjai pada masing-masing molekul, sehingga dua zat yang tidak dapat bercampur menjadi tercampur.
2. Teori Oriented Wedge
Dalam
suatu sistem yang mengandung dua cairan yang tidak saling bercampur,
zat pengemulsi akan memilih larut dalam salah satu fase dan terikat kuat
dalam fase tersebut dibandingkan dengan fase lainnya. Karena umumnya,
emulgator memiliki suatu bagian hidrofilik (suka air) dan hidrofobik
(tidak suka air, tapi biasanya lipofilik atau suka minyak)
molekul-molekul tersebut akan mengarahkan dirinya ke masing-masing fase.
Dengan demikian emulgator seolah menjadi tali pengikat antar molekul,
sehingga terjadi suatu kesetimbangan.
3. Teori Interparsial Film
Emulgator
akan diserap pada batas antara air dan minyak, sehingga terbentuk
lapisan film yang akan membungkus partikel dispersi. Dengan
terbungkusnya partikel tersebut, maka usaha antara partikel yang sejenis
untuk bergabung terhalang. Dengan kata lain fase dispers stabil.
Syarat emulgatornya : Dapat membentuk lapisan film kuat tapi lunak, jumlahnya cukup untuk menutup permukaan fase dispers, dapat membentuk lapisan film dengan cepat, menutup permukaan partikel dengan segera.
Syarat emulgatornya : Dapat membentuk lapisan film kuat tapi lunak, jumlahnya cukup untuk menutup permukaan fase dispers, dapat membentuk lapisan film dengan cepat, menutup permukaan partikel dengan segera.
4. Teori Electric double Layer (Lapisan Listrik Rangkap)
Jika
minyak terdispersi dalam air, satu lapis air yang langsung berhubungan
dengan minyak akan bermuatan sejenis, sedangkan lapisan berikutnya
mempunyai muatan yang berlawanan dengan lapisan di depannya.
“seolah-olah tiap partikel minyak dilindungi oleh 2 benteng lapisan
listrik yang saling berlawanan”. Benteng tersebut akan menolak setiap
usaha dari partikel minyak yang akan mengadakan penggabungan menjadi
satu molekul besar. Karena susunan listrik yang menyelubungi setiap
partikel minyak mempunyai susunan yang sama . Dengan demikian antara
sesama partikel akan tolak menolak.
Biasanya
dalam suatu sistem emulsi tertentu lebih dari satu teori emulsifiaksi
diterapkan dan berperan dalam menjelaskan pembentukan dan stabilitas
emulsi tersebut. Misalnya, tegangan antar muka berperan dalam
pembentukan awal emulsi, tetapi pembentukan suatu baji pelindung dari
molekul-molekul atau film dari zat pengemulsi penting untuk stabilitas
emulsi selanjutnya
I.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana cara membuat sediaan emulsi?
2. Bagaimana ketidak stabilan sediaan emulsi?
3. Bahan-bahan apa yang digunakan dalam pembuatan sediaan emulsi?
4. Apa sifat-sifat fisika dari sediaan emulsi?
5. Bagaimana sifat-sifat fisika dari sediaan emulsi
I.3 Tujuan
1. Mengetahui cara membuat sediaan emulsi
2. Mengetahui ketidak stabilan sediaan emulsi
3. Menjelaskan bahan bahan yang digunakan dalam membuat sediaan emulsi
4. Melakukan uji sifat-sifat fisika pada sediaan emulsi
5. Menjelaskan sifat sifat fisika dari sediaan emulsi
II. PEMBAHASAN
II.1 Pengertian Emulsi
Emulsi
adalah suatu sediaan yang mengandung dua zat yang tidak dapat
bercampur, biasanya minyak dan air yang stabilitasnya dapat
dipertahankan dengan emulgator atau zat pengelmusi. Emulsi yang
mempunyai fase dalam minyak dan fase luar air disebut emulsi
minyak-dalam-air dan biasanya diberi tanda sebagai emulsi “M/A”.
Sebaliknya emulsi yang mempunyai fase dalam air dan fase luar minyak
disebut emulsi air-dalam-minyak dan diberi tanda sebagai emulsi “A/M”.
Emulsi
dapat didefinisikan sebagai suatu sediaan yang mengandung bahan obat
cair atau larutan obat, terdispersi dalam cairan pembawa, distabilkan
dengan emulgator atau surfaktan yang cocok. (Depkes RI, 1979)
Emulsi adalah suatu dispersi dimana fase terdispersi terdiri dari bulatan-bulatan kecil zat cair yang terdistribusi keseluruh pembawa yang tidak bercampur. (Ansel, 1989)
II.2 Cara Membuat Sediaan Emulsi
Klasifikasi Tipe Emulsi
Suatu
emulsi terdiri dari dua fase yang bersifat kontradiktif, tetapi dengan
adanya zat pengemulsi maka salah satu fase tersebut terdispersi dalam
fase lainnya. Pada umumnya dikenal dua tipe emulsi yaitu :
a) Tipe A/M (Air/Minyak) atau W/O (Water/Oil)
Emulsi
ini mengandung air yang merupakan fase internalnya dan minyak merupakan
fase luarnya. Emulsi tipe A/M umumnya mengandung kadar air yang kurang
dari 25% dan mengandung sebagian besar fase minyak. Emulsi jenis ini
dapat diencerkan atau bercampur dengan minyak, akan tetapi sangat sulit
bercampur/dicuci dengan air.
b) Tipe M/A (Minyak/Air) atau O/W (Oil/Water)
Merupakan
suatu jenis emulsi yang fase terdispersinya berupa minyak yang
terdistribusi dalam bentuk butiran-butiran kecil didalam fase kontinu
yang berupa air. Emulsi tipe ini umumnya mengandung kadar air yang lebih
dari 31% sehingga emulsi M/A dapat diencerkan atau bercampur dengan air
dan sangat mudah dicuci.
Dalam
formula pembuatan pembuatan emulsi terdapat zat berkhasiat , terdapat
juga dua zat yang tidak bercampur yang mempunyai fase minyak dalam air
atau air dalam minyak, biasanya yang stabilitasnya dipertahankan dengan
emulgator atau zat pengelmusi. Zat
pengemulsi (emulgator) adalah komponen yang ditambahkan untuk mereduksi
bergabungnya tetesan dispersi dalam fase kontinu sampai batas yang
tidak nyata. Bahan pengemulsi (surfaktan) menstabilkan dengan cara
menempati antar permukaan antar tetesan dalam fase eksternal, dan dengan
membuat batas fisik disekeliling partikel yang akan berkoalesensi, juga
mengurangi tegangan antarmuka antar fase, sehingga meningkatkan proses
emulsifikasi selama pencampuran. Penggunaan emulgator biasanya diperlukan 5% – 20% dari berat fase minyak. (Anief, 2004)
Dalam pemilihan emulgator harus memenuhi beberapa syarat yaitu :
a) Emulgator harus dapat campur dengan komponen-komponen lain dalan sediaan.
b) Emulgator tidak boleh mempengaruhi stabilitas dan efek terapeutik dari obat.
c) Emulgator harus stabil, tidak boleh terurai dan tidak toksik.
d) Mempunyai bau, warna, dan rasa yang lemah.
Emulgator dapat dibagi menjadi dua kelompok menurut asalnya, yaitu (Anonim, 1992) :
Emulgator Alam
a. Dari tumbuhan : Gom arab, Tragacant, Agar-agar, Chondrus, emulgator lain – pektin, metilselulose.
b. Dari hewan : Kuning telur, adeps lanae.
c. Dari tanah mineral : Magnesium aluminium silikat, Bentonit.
Emulgator sintetis
a. Anionik misalnya Trietanolamin, Natrium Lauril Sulfat.
b. Kationik misalnya Benzetonium Klorida, Setil Piridivium
c. Nonionik misalnya Span, Tween, Gliseril Monostearat
Cara Pembuatan Emulsi :
a) Metode gom basah (Anief, 2000)
Cara
ini dilakukan bila zat pengemulsi yang akan dipakai berupa cairan atau
harus dilarutkan terlebih dahulu dalam air seperti kuning telur dan
metilselulosa. Metode ini dibuat dengan terlebih dahulu dibuat mucilago
yang kental dengan sedikit air lalu ditambah minyak sedikit demi sedikit
dengan pengadukan yang kuat, kemudian ditambahkan sisa air dan minyak
secara bergantian sambil diaduk sampai volume yang diinginkan.
b) Metode gom kering
Teknik
ini merupakan suatu metode kontinental pada pemakaian zat pengemulsi
berupa gom kering. Cara ini diawali dengan membuat korpus emulsi dengan
mencampur 4 bagian minyak, 2 bagian air dan 1 bagian gom, lalu digerus
sampai terbentuk suatu korpus emulsi, kemudian ditambahkan sisa bahan
yang lain sedikit demi sedikit sambil diaduk sampai terbentuknya suatu
emulsi yang baik.
c) Metode HLB (Hidrofilik Lipofilik Balance)
Cara
ini dilakukan apabila emulsi yang dibuat menggunakan suatu surfaktan
yang memiliki nilai HLB. Sebelum dilakukan pencampuran terlebih dahulu
dilakukan perhitungan harga HLB dari fase internal kemudian dilakukan
pemilihan emulgator yang memiliki nilai HLB yang sesuai dengan HLB fase
internal. Setelah diperoleh suatu emulgator yang cocok, maka selanjutnya
dilakukan pencampuran untuk memperoleh suatu emulsi yang diharapkan. Umumnya
emulsi akan berbantuk tipe M/A bila nilai HLB emulgator diantara 9 – 12
dan emulsi tipe A/M bila nilai HLB emulgator diantara 3 – 6.
Alat yang Digunakan dalam Pembuatan Emulsi :
1. Mortir
2. Stamper
3. Botol
4. Mixer – blender
5. Homogeniser
6. Colloid mill
Stabilitas emulsi
Stabilitas
suatu emulsi adalah suatu sifat emulsi untuk mempertahankan distribusi
halus dan teratur dari fase terdispersi yang terjadi dalam jangka waktu
yang panjang. (Voigt. R, 1995)
a) Faktor yang dapat mempengaruhi stabilitas emulsi yaitu :
i. Pengaruh viskositas
Ukuran
partikel yang didistribusi partikel menunjukkan peranannya dalam
menentukan viskositas emulsi. Umumnya emulsi dengan partikel yang makin
halus menunjukkan viskositas yang makin besar dibandingkan dengan emulsi
dengan partikel yang lebih kasar. Jadi, emulsi dengan distribusi
partikel yang besar memperlihatkan viskositas yang kurang / kecil.
Untuk
mendapatkan suatu emulsi yang stabil atau untuk menaikkan stabilitas
suatu emulsi dapat dengan cara menambahkan zat-zat yang dapat menaikkan
viskositasnya dari fase luar. Bila viskositas fase luar dipertinggi maka
akan menghalangi pemisahan emulsi.
ii. Pemakaian alat khusus dalam mencampur emulsi
Dalam
pencampuran emulsi dapat dilakukan dengan mortir secara manual dan
dengan menggunakan alat pengaduk yang menggunakan tenaga listrik seperti
mikser.
Untuk
membuat emulsi yang lebih stabil, umumnya proses pengadukannya
dilakukan dengan menggunakan alat listrik. Disamping itu penggunaan alat
dapat mempercepat distribusi fase internal kedalam fase kontinu dan
peluang terbentuknya emulsi yang stabil lebih besar.
iii. Perbandingan optimum fase internal dengan fase kontinuitas
Suatu
produk emulsi mempunyai nilai perbandingan fase dalam dan fase luar
yang berbeda-beda. Hal tersebut terjadi karena adanya perbedaan jenis
bahan yang digunakan ataupun karena adanya perbedaan perlakuan yang
diberikan pada setiap bahan emulsi yang digunakan.
Umumnya
emulsi yang stabil memiliki nilai range fase dalam antara 40% sampai
60% dari jumlah seluruh bahan emulsi yang digunakan.
Ketidak Stabilan Emulsi
1. Creaming
: emulsi terpisah menjadi 2 bagian, di mana salah satu mengandung fase
dispersi lebih banyak daripada lapisan lain. Sifatnya reversible, dengan
penggojokan perlahan-lahan akan terdispersi kembali.
2. Cracking
/ Breaking : pecahnya emulsi karena film yang melapisi partikel rusak
dan butir minyak menyatu kembali. Sifatnya irreversible, hal ini terjadi
karena :
o Peristiwa kimia : penambahan alkohol, perubahan pH, penambahan CaO/CaCl2 exicatus.
o Peristiwa fisika : pemanasan, penyaringan, pendinginan, pengadukan.
3. Inversi : perubahan tipe emulsi A/M menjadi M/A atau sebaliknya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar